Membingkai Partai Politik dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

oleh. Zulkarnain Baso Hakim, S.H., M.H.


Universitas delinquere non potest (korporasi tidak dapat dipidana) karena societas delinquere non potest (korporasi tidak mungkin melakukan perbuatan pidana). Kedua adagium tersebut menekankan bahwa korporasi tidak memiliki jiwa dan organ layaknya manusia untuk melakukan kejahatan. Keberadaan adagium diatas menunjukan bahwa pada awal perkembangannya, hukum pidana hanya memandang subyek hukum hanyalah sebatas pada subyek hukum orang/manusia (naturlijk person). Namun dalam perkembangan ilmu hukum pidana selanjutnya, sudah mulai ada pemikiran visioner para ahli hukum pidana untuk memasukan korporasi (recht person) sebagai salah satu subyek hukum pidana.

Ter Heide dengan karyanya “Vrijheid, overde zin van de straf”, menyatakan “terdapat suatu kecenderungan dimana hukum pidana semakin lama semakin dilepaskan dari konteks manusia.” oleh Karena hukum pidana telah terlepas dari konteks manusia, maka dapat disimpulkan bahwa pandangan hanya manusia-lah yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagai subjek hukum sudah tidak relevan lagi.

Edward Sutherland, bapak kriminologi yang mengenalkan istilah white collar crime dalam pnadangannya menguraikan bahwa kejahatan-kejahatan dalam lingkup white collar crime memiliki salah satu karakter yaitu dilakukan secara berkelompok, lebih dari satu orang bahkan secara teratur dalam suatu susunan pengurusan organisasi bisnis tertentu. Dalam perjalanan berikutnya, korporasi sudah mulai dianggap sebagai subyek hukum namun terlebih dahulu diakui sebagai subyek hukum dalam bidang hukum perdata, yang terbatas pada korporasi yang berbadan hukum saja. Selanjutnya dalam hukum pidana positif kita, korporasi sudah mulai masuk sebagai subyek hukum pasca diundangkannya Undang-Undang Drt No 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi, kemudian dalam Undang-undang Pemberantasan Tipikor sampai dengan Undang-undang TPPU. Lingkup korporasi dalam hukum pidana tentunya lebih luas dari lingkup korporasi dalam hukum perdata, karena dalam hukum pidana subyek hukum korporasi tidak hanya terbatas pada korporasi yang berbentuk badan hukum saja melainkan juga yang tidak berbadan hukum.

Dalam melihat pertanggugjawaban pidana korporasi sebagai subyek hukum pidana tentunya berbeda sudut pandangnya dengan melihat pertanggungjawaban pidana dari orang/manusia, karena korporasi hanyalah subyek hukum pidana fiksi yang dilekatkan hak dan kewajiban. Untuk Mengurai aspek kesalahan koprorasi, dapat menggunakan teori yang telah dikembangkan para sarjana hukum pidana mulai dari teori identification, agregation, delegation liability, serta Business Judgement Rule.

Guna menentukan bagaimana beban pertanggungjawaban dalam kejahatan korporasi, Prof Muladi menjelaskan ada 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi

    1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus korporasi yang bertanggungjawab

    2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus korporasi yang bertanggungjawab

    3. Korporasi sebagai pembuat sekaligus yang bertanggungjawab

Menurut DR. Asep N Mulyana, ada 3 hal penting yang harus dilihat guna menentukan dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban, yakni:

    1. Apakah korporasi mendapat untung dari hasil kejahatan yang dilakukan pengurusnya.;

    2. Apakah Kejahatan korporasi yang dilakukan masih dalam lingkup jenis/bidang usaha korporasi;

    3. Apakah orang yang bertindak atas nama korporasi tersebut memang memiliki kedudukan, kualitas hubungan tertentu dengan korporasi yang diwakilkan dan resmi bertindak atas “persetujuan korporasi”.

Menurut Prof Nico Keijzer, kurang lebih ada 4 alasan mengapa korporasi dimintai pertanggungjawaban dan dipidana atas suatu perbuatan, antara lain:

    1. Terdapat tindakan/sikap tidak berbuat (omission) dari seseorang entah karena suatu hubungan kerja, atau karena hubungan lainnya yang dilakukan untuk kepentingan koporasi tersebut;

    2. Perbuatan tersebut sesuai dengan aktifitas usaha korporasi tersebut pada umumnya;

    3. Perbuatan tersebut menghasilkan manfaat bagi korporasi dalam usaha/kegiatan yang dijalankan;

    4. Korporasi berkuasa menentukan apakah perbuatan tersebut akan dilakukan atau tidak atau perbuatan tersebut telah diterima oleh korporasi termasuk juga tidak melakukan antisipasi yang sepatutnya dapat diharapkan untuk mencegah terjadinya perbuatan.

Dipidananya korporasi terpisah dari pemidanaan para pengurusnya sebagai organ korporasi akan memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan hanya memidana pengurus yang melakukan kejahatan demi keuntungan dari korporasi tersebut.

Pada tahun 2011 muncul desakan agar partai politik dapat diseret dalam pertanggungjawaban pidana atas tindakan korupsi yang dilakukan oleh anggota maupun dewan pengurus partai. Hal ini dikarenakan adanya fakta beberapa kasus korupsi dengan kerugian keuangan negara yang fantastis dimana uang hasil korupsi mengalir ke partai politik. Contohnya dalam fakta persidangan M Nazarudin yang menyebutkan adanya aliran dana hasil korupsi dalam kegiatan kongres partai Demokrat, dalam kasus korupsi Proyek E-KTP, dengan tedakwa Setya Novanto yang dalam persidangan mengatakan dana e-KTP juga mengalir dalam kegiatan Rapimnas Partai Golkar di Bali tahun 2016, dan Dalam kasus korupsi dengan terdakwa Zumi Zola, JPU mendakwa Gubernur Jambi non aktif, Zumi Zola mengalirkan uang yang berasal dari gratifikasi ke DPD Partai Amanat Nasional Kota Jambi. Dalam penindakan kasus korupsi oleh KPK, dari 500 pelaku tindak pidana korupsi, 35% merupakan kader atau pengurus partai politik. Demikian juga, hasil penelitian PUKAT UGM, bahwa seluruh partai politik yang memiliki perwakilan sebagai anggota dewan maupun menjabat pada kementerian di Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014 terlibat dalam tindak pidana korupsi. pertanyaannya, apakah partai politik dapat dimintai pertanggungjawaban pidana ?. jawabannya adalah iya, partai politik dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena secara teori dan yuridis, partai politik masuk dalam lingkup korporasi yang menjadi subyek hukum pidana. Untuk mendukung hipotesa penulis tersebut, penulis ingin mengurai beberapa hal sebagai berikut.

Pertama Undang-undang No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik pada Pasal 3 mengatur bahwa partai politik berbentuk badan hukum. DR. Yenti Ganarsih berpandangan, meskipun sebenarnya esensi dan eksistensi partai politik bukan merupakan sebuah perusahaan yang menjalankan bisnis / perdagangan, akan tetapi kedudukan partai politik sebagai suatu Badan Hukum yang kemudian menjadi pemicu hadirnya pemaknaan partai politik sebagai suatu korporasi . Penulis sependapat dengan pandangan pakar hukum pidana Trisakti tersebut, bahwa partai politik yang sudah berbentuk badan hukum masuk dalam defenisi korporasi. Sejatinya tanpa status badan hukum pun sebuah partai politik sudah masuk defenisi perkumpulan korporasi non badan badan hukum yang masuk sebagai subyek hukum pidana dalam Undang-undang Pemberantasan Tipikor.

Kedua, partai politik bukan corporate crime, namun pada beberapa kasus korupsi maupun TPPU ada fakta bahwa partai politik menerima aliran dana (manfaat) dari kejahatan tersebut, maka menurut penulis yang terjadi di sini adalah apa yang disebut oleh Steven Box sebagai crime for corporation. Bahwa para anggota/pengurus partai politik saat melakukan kejahatan, memberikan/mengalirkan hasil kejahatan ke partai mereka masing-masing, maka partai politik menjadi pihak penerima manfaat dari hasil kejahatan. Hal ini senada dengan Asep N Mulyana yang mengatakan salah satu dasar bisa dipidananya korporasi adalah fakta bahwa adanya manfaat/aliran dana hasil kejahatan yang dilakukan pengurus kepada korporasi.

Ketiga, salah satu defenisi kejahatan korporasi sebagai business crime yang bermakna kejahatan korporasi yang dilakukan haruslah masih dalam lingkup bidang korporasi itu sendiri. Defenisi ini terpenuhi ketika pengurus partai yang melakukan kejahatan khususnya korupsi ataukah pelanggaran UU pemilu masihlah dalam lingkup bidang kerja partai politik itu sendiri, karena berkutat disekitar pusaran kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif

Keempat, perihal sanksi yang dapat dijatuhkan kepada partai politik adalah sanksi pidana non perampasan kemerdekaan/badan. misalkan pidana pokok yang dijatuhkan terhadap partai politik atau badan hukum yaitu berupa pencabutan izin atau operasi parpol baik secara temporer atau permanen, perampasan harta kekayaan, bahkan pembubaran sekalipun

Oleh karena itu , berdasarkan penguraian diatas dapat disimpulkan bahwa partai politik dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena masuk dalam lingkup subyek hukum korporasi. Namun kenyataanya telah banyak perwakilan partai politik yang menjalani pertanggungjawaban pidana, tetapi hanya terbatas pada pertanggungjawaban individu (pengurus partai) padahal, dalam beberapa fakta persidangan adanya aliran hasil tindak pidana yang dinikmati oleh partai politik.

Sejatinya Permasalahan bukanlah terletak pada aspek teori partai poltik dapat atau tidak dipertanggungjawabkan, melainkan terletak pada apakah politik hukum Negara melalui aparat penegak hukumnya mau dan/atau berani memidana partai politik, terlebih lagi partai-partai politik penguasa jagat kekuasaan ?. kita lihat saja nanti -