Penerapan “Justice Collaborator” dalam Pengungkapan Pelaku Lain pada Perkara Tindak Pidana Korupsi

oleh. Nanda Yoga Rohmana, S.H., M.H. dan Dewi K., S.H.


Dalam perkara tindak pidana korupsi seringkali sulit untuk mengungkap/membongkar keterikatan pelaku lain yang terlibat karena adanya berbagai modus operandi yang dilakukan oleh pelaku. Dalam hal mengatasi kesulitan pembuktian pelaku lain yang terlibat, maka penegak hukum mengatasinya dengan menerapkan peran “justice collaborator” sebagai pihak yang ikut mengungkapkan fakta hukum terkait peristiwa tindak pidana tersebut. “Justice collaborator” ialah saksi pelaku yang bekerjasama dalam tindak pidana korupsi yang bersedia membongkar/memberikan bukti untuk menyeret pelaku utama. Dalam Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption) Tahun 2003 yang telah diratifkasi oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 antara lain mengatur sebagai berikut :

Ayat (2) :

Setiap peserta wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu “mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.

Ayat (3) :

Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyidikan atau penuntutan (Justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.

Berdasarkan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: B-1964/F/Fd.1/09/2017 tanggal 22 September 2017 perihal Tata Cara Pemberian Status dan Penyelesaian “Justice Collaborator” Terhadap Pelaku Tindak Pidana Khusus. Yang menentukan perlakuan bagi Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Khusus harus memenuhi kriteria pada pokoknya sebagai berikut:

1.1 Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana khusus, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

1.2 Penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.

1.3 Penentuan Justice Collaborator dilakukan secara selektif dan cermat setelah ada permohonan dari saksi pelaku, dengan mempertimbangkan manfaat yang lebih besar terhadap pengungkapan kasus yang ditangani. Penyidik kemudian menyampaikan pendapat atas permohonan Justice Collaborator tersebut secara berjenjang. Persetujuan permohonan tersebut ditetapkan melalui ekspose/petunjuk pimpinan. Persetujuan Justice Collaborator diterbitkan dalam bentuk surat penetapan yang ditandatangani oleh Pimpinan.

1.4 Apabila terdapat surat dari Lembaga Pemasyarakatan terkait syarat pelepasan bersyarat yang berhubungan dengan permohonan sebagai Justice Collaborator, perlu dilakukan penelitian apakah terpidana yang dimintakan tersebut pernah ditetapkan sebagai Justice Collaborator. Jika tidak pernah, maka permohonan tersebut ditolak.

Namun, dalam praktiknya penerapan “Justice Collabolator” ini tidak serta merta dinilai oleh hakim dapat menjadi “Justice Collabolator”. Hakim dapat saja menilai pada saat memberikan keterangan terdakwa tidak memenuhi syarat dan kualifikasi sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum. Oleh karena itu, dalam praktiknya sulit untuk menerapkannya, misalnya dalam kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik pada pengadilan tingkat pertama 21 desember 2017 terdakwa Andi divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp. 1 Miliar subsidair 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar 2,15 juta dolar AS dan Rp. 1,186 miliar. Terdakwa Andi divonis ringan karena mendapat predicate sebagai “Justice Collaborator” . Kesaksian terdakwa Andi dinilai signifikan membantu KPK dalam mengungkapkan pelaku lainnya yang leebih besar. Namun, Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 28 Maret 2018 memvonis Andi selama 11 tahun penjara ditambah denda Rp. 1 Miliar subsidair 6 bulan kurungan serta wajib membayar uang pengganti sebesar 2,15 juta dollar AS dan Rp. 1,186 miliar subsidair 3 tahun kurungan. Dalam hal ini Jaksa KPK keberatan dengan putusan tersebut, kemudian mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, di Mahkamah Agung terdakwa Andi malah diperberat menjadi 13 tahun penjara. Hal ini berimplikasi terhadap terdakwa untuk tidak mau lagi bekerjasama dengan penegak hukum menjadi “Justice Collaborator”. Padahal terdapat perlindungan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) yang telah diatur di dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berbunyi :

Seorang pelaku yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana.

Oleh karena itu, hemat penulis untuk menghindari perbedaan pandangan antara penegak hukum baik penyidik, penuntut umum dan Hakim maka pertama, dalam BAP tersangka yang akan ditetapkan sebagai “Justice Collaborator” perlu digali lebih dalam mengenai peran pelaku dan keterangan pelaku untuk dapat dinilai layak atau tidak ditetapkan sebagai “Justice Collaborator” sesuai Surat Jampidsus No. B-1964/22 September 2017 tersebut. Kedua, penetapan layak atau tidak layaknya seseorang sebagai “Justice Collaborator” perlu ditetapkan melalui putusan sela. Sehingga, hakim terikat secara yuridis dan moral apabila nanti pada saat di putusan memperberat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Karena berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu seharusnya memperingan pelaku, bukan memperberat hukuman dari pelaku tersebut, yang berbunyi :

Atas bantuan “Justice Collaborator” tersebut, maka hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :

  1. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau

  2. Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Apabila memang layak pelaku tersebut ditetapkan sebagai “Justice Collaborator” seyogyanya hakim terikat dengan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 04 Tahun 2011 untuk memperingan hukuman pelaku.

Kemudian yang ketiga, apabila dalam persidangan keterangan terdakwa yang telah ditetapkan sebagai “Justice Collaborator”, kemudian apa yang diterangkan dalam BAP berbeda dengan apa yang diterangkan oleh “Justice Collaborator” tersebut, maka hakim dapat mencabut/membatalkan penetapan terdakwa sebagai “Justice Collaborator” dan dapat menyamakan atau bahkan memperberat hukumannya.

Permasalahan lain yaitu perbedaan pandangan mengenai penafsiran “bukanlah pelaku utama” sebagai syarat untuk mendapatkan “Justice Collaborator” . Terkadang hakim menilai pelaku tersebut merupakan pelaku utama sehingga tidak dapat dikatakan/memenuhi syarat sebagai “Justice Collaborator” . Oleh karena itu, hemat penulis untuk menentukan pelaku utama atau bukan pelaku utama harus dikaitkan dengan Pasal 56 KUHP yang berbunyi :

Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan :

1e. Barang siapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu

2e. Barang siapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Dengan demikian, syarat-syarat dalam doktrin untuk dapat dikatakan sebagai membantu melakukan yaitu pertama, pembantuan pada saat dilakukan kejahatan, kedua, pembantuan untuk melakukan kejahatan yang artinya memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, orang yang membantu melakukan melakukan peranan yang tidak penting, keempat, meskipun yang dilakukan bukan perbuatan penyelesaian (voltooingshandeling), namun jika kerjasama antara pelaku adalah sangat erat, maka orang yang demikian itu lalu dipandang sebagai pelaku dan bukan sebagai pembantu[1], artinya untuk syarat keempat ini harus dibuktikan keterkaitan erat/tidaknya peranan pelaku untuk penyelesaian tindak pidana tersebut, dan syarat kelima inisiatif harus datang dari orang yang diberi bantuan berupa kesempatan, sarana atau keterangan, jika niatnya timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang tersebut bukanlah membantu melakukan, namun membujuk melakukan (Pasal 55 KUHP). Dalam tindak pidana korupsi untuk menerapkan pembantuan tersebut sangatlah kasuistis dan harus dilihat kasus per kasus.

Adanya keterangan saksi dengan keterangan tersangka saat ia menjadi tersangka memunculkan perbedaan terhadap peran Justice Collaborator dengan Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide). Dalam praktiknya, sering terjadi ambiguitas terkait dengan peran Jusctice Collaborator dengan Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide), yang sebenarnya terdapat perbedaan signifikan mengenai kedua peran tersebut. Peranan Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide) dalam perkara tindak pidana korupsi memungkinkan seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa memberikan kesaksian terhadap tersangka atau terdakwa yang berkas pemeriksaan perkaranya dipisahkan (splitzing) antara seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, dimana para terdakwa melakukan perbuatan secara bersama-sama namun karena sulitnya mendapatkan alat bukti, maka seseorang dimungkinkan dapat menjadi saksi untuk perkara tersangka atau terdakwa yang lain. Menurut Loebby Loqman, saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan (deelneming) yang nilai kesaksiannya sama dengan keterangan saksi dalam KUHAP[2], sedangkan Jusctice Collaborator menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu merupakan tersangka atau terdakwa yang mengakui kejahatan dilakukannya, yang bukan merupakan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) dan menjadi saksi pelaku yang bekerjasama memiliki keinginan untuk mengungkapkan kejahatan dan bersedia untuk bekerja-sama dengan aparat penegak hukum berdasarkan beberapa persyaratan dan kualifikasi tertentu, yang penetapannya ditetapkan melalui ekspose/petunjuk pimpinan dan diterbitkan dalam bentuk surat penetapan yang ditandatangani oleh Pimpinan.

Selain itu, perbedaan yang signifikan antara peran Justice Collaborator dengan Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide), dapat dilihat dari kehendak dari pelaku untuk bekerjasama tanpa adanya paksaan dari aparat penegak hukum, serta adanya persyaratan dan kriteria tertentu yang harus dipenuhi apabila seseorang ingin menjadi Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator), sedangkan Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide) merupakan saksi dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya terhadap suatu perkara pidana yang pada umumnya memiliki unsur adanya penyertaan (deelneming) dikarenakan tidak ada alat bukti yang lain, atau sangat minim, yang berguna untuk mempermudah pembuktian, dimana pemberian status seseorang menjadi Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide) tidak didasarkan pada kehendak pelaku tindak pidana itu sendiri.

Penerapan Justice Collaborator sangat berguna bagi penegak hukum dalam rangka pengungkapan perkara dan membongkar/memberikan bukti untuk menyeret pelaku utama tindak pidana korupsi yang sulit untuk dibuktikan, dalam hal ini problematika kedudukan Justice Collaborator yang belum diatur secara tegas mengenai perlindungan haknya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan berimplikasi pada bargaining position bagi Justice Collaborator terkait dengan keinginannya untuk dapat bekerjasama dalam mengungkapkan perkara dan menyeret pelaku utama tindak pidana korupsi dan adanya kekhawatiran bahwa pidana yang dijatuhkan untuk Justice Collaborator tidak menjadi pertimbangan yang meringankan bagi Hakim. Oleh karena itu, penting adanya peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir perlindungan hak-hak bagi Justice Collaborator berdasarkan pertimbangan asas kepatutan dan asas keadilan, agar penegakan hukum dalam pengungkapan perkara Tindak Pidana Korupsi dapat lebih efektif dengan adanya peran dari Justice Collaborator.


Daftar Pustaka

[1] Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta, tahun 2014, hlm. 318-319.

[2] Loebby Loqman, "Saksi Mahkota", Forum Keadilan, Nomor 11, 1995

[3] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003.

[4] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

[5] Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

[6] Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: B-1964/F/Fd.1/09/2017 tanggal 22 September 2017 perihal Tata Cara Pemberian Status dan Penyelesaian “Justice Collaborator” Terhadap Pelaku Tindak Pidana Khusus.